Akhir-akhir ini Indonesia diramaikan dengan satu kata. Bohong.
Kata ini menjadi popular dikemukakan dan diterangkan batasan pengertiannya.
Asal muasalnya? Keberatan para pemuka agama terhadap keterangan Presiden RI tentang hal-hal pokok keberhasilan pemerintah.
Para pemuka agama ini, seperti yang diberitakan berbagai media massa, menyebutkan bahwa Pemerintah telah berbohong. Kebohongan ini bahkan dibagi menjadi dua bagian, kebohongan lama dan kebohongan baru.
Saya tidak akan membahas apa saja kebohongan yang dimaksud. Silakan cari sendiri beritanya di media massa seperti Detiknews, Kompas, Media Indonesia atau lainnya.
Yang saya soroti di sini adalah bagaimana reaksi pemerintah ketika dirinya disebut sebagai pembohong. Bagi negara, hal ini sangat serius karena berbohong itu hal yang sangat nista (ini istilah saya)
Baca saja beberapa pernyataan pembicara dari Istana berikut ini.
“Pemerintah tidak pernah berbohong,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. (detiknews, 12 januari). Lalu pernyataan ini diperkuat dengan pembelaan bahwa keterangan pemerintah berdasar pada data yang dikeluarkan BPS (Padahal sebagai orang yang sering kali membutuhkan data statistik dari BPS, penulis sering kali juga mempertanyakan kebenaran angka yang tercantum. Akhirnya malah memilih survei lapangan untuk memastikan yang tersebut sama dengan yang terlihat). Menko yang satu ini sepertinya bereaksi sangat keras (nyaris berang kalau saya mengartikan apa yang tertulis dalam berita detik). Beliau sampai menekankan (atau mengancam media) dengan berkata, “…. Awas kalau keliru” ketika menekankan dirinya hanya mengutip pernyataan dalam Editorial Media Indonesia yang mengatakan bahwa saat ini Pemerintahan SBY bohong.
Hal senada disampaikan oleh Daniel Sparingga. Sebagai staf ahli Presiden bidang Politik, beliau mengeluarkan pernyataan, “Bagi pemerintah lebih nyaman disebut ingkar janji, inkonsisten, atau disebut gagal sekalipun. Apa yang disampaikan (tentang kebohongan pemerintah, pen) menyangkut kredibilitan presiden, karena disebut namanya jelas, kebohongan”. Lalu beliau menambahkan keseriusan tuduhan kebohongan ini dengan mencontohkan kasus Presiden AS, Richard Nixon yang memutuskan mengundurkan diri karena kasus Watergate yang juga melibatkan kebohongan publik oleh Pemerintah AS saat itu. (Detiknews, 15 Januari 2011).
Saya memiliki dua komentar, untuk pemilihan istilah yang dihubungkan dengan nyaman dan tak nyaman, apakah nantinya malah mengaburkan maksud? Lalu tentang contoh pemerintah AS, Apakah beliau takut nanti Presiden kita juga ikut-ikutan mengundurkan diri? Hmmmm...... :)
Berkaitan dengan bohong, seperti yang diungkapkan psikolog dari politik UI Handy Muluk, kata “bohong” memang menimbulkan rasa tidak nyaman. Kalau begitu, yang benar-benar berbohong pun pasti akan memilih “mati” dari pada ngaku telah berbohong.
Jadi inget zaman kanak-kanak. Ketika ada teman yang dituduh berbohong dan yang bersangkutan menyangkal keras, kita-kita yang menuduh makin yakin kalau dia memang berbohong. (Nah lho…)
Kembali ke masalah penerimaan tuduhan, menurut saya wajar jika pemerintah tidak serta merta membiarkan tuduhan itu. Pasti bereaksi (kalau bukannya harus). Namun seharusnya sewajarnya karena toh masyarakat (dalam hal ini telah diwakili oleh pemuka agama) memiliki hak mempertanyakan keterangan dari pemerintah karena sebagian besar rakyat tidak berbondong-bondong ke kantor BPS untuk menekuni deretan angka-angka yang menjadi variabel pengukuran keberhasilan Pemerintah Indonesia. Sebagian besar kita lebih merasakan apa yang sedang terjadi. Membandingkan apa yang dijanjikan dan apa yang “dilihat” saat ini. Jadi ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan yang dirasakan, sangat wajar jika kata “bohong” jadi kata yang pertama kali muncul dan kemudian diutarakan.
Lalu bagaimana dengan penerimaan yang wajar? Hal ini tentunya sangat tergantung pada kesiapan si penerima berita (dalam kasus ini saya menekankan pada reaksi pemerintah). Dengan reaksi yang berapi-api dan langsug defensive (lantang mengatakan tidak berbohong dan menyelipkan kata ancaman “awas”) menunjukkan bahwa si penerima berita tidak siap. Sebagai analogi, sama saja seperti reaksi anak usia 6 tahun ketika melihat adegan mesra sepasang kekasih yang menjadi bagian dari adegan dalam film dewasa yang harusnya dikonsumsi oleh penonton yang telah berusia lebih dari 17 tahun. Melihat adegan ciuman yang “panas” misalnya, si anak langsung berteriak, “Iiiiihhhh…… menjijikkan. Koq cowonya makan bibirnya cewe itu sih.” (jangan salah, ini pernah benar-benar terjadi. Hehehe)
Artinya apa? Si anak tidak mengerti apa yang terjadi karena mereka memang belum pada tahapan menyerap kondisi itu. Karena itu komentarnya yang jujur dan lugas menjadi pengingat bahwa belum saatnya si anak tadi mendapat tontonan yang seperti itu. Dan karena itu juga badan penyiaran mengharuskan stasiun televisi memberikan label pada produksi yang ditayangkan agar jenis tontonan dapat disesuaikan dengan daya serap pemirsanya. Karena itu ada label semua umur, remaja, dan bimbingan orang tua.
Nah kalau membandingkan kasus labelisasi produksi tayangan dengan reaksi keras (orang-orang) pemerintah terhadap “tuduhan” masyarakat yang ditayangkan di media massa, apa sih yang sebenarnya terjadi? Apakah memang berita itu diatas kemampuan daya serap penerima atau ………
Apakah berita-berita di media massa (khususnya televisi) juga harus diberi label khusus?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar