Kamis, 21 Oktober 2010

Pemimpin Negara di Mata Rakyat?

Peringatan setahun pemerintahan SBY-Budiono sekaligus 6 tahun SBY disemarakkan oleh hujan unjuk rasa dan pemberian nilai kinerja. Sebagian besar nada yang dikeluarkan sumbang alias memberikan nilai merah pada kinerja pemerintahan presiden RI teranyar ini. Bahkan kemudian pernyataan-pernyataan rindu akan kondisi negara masa pemerintahan Suharto pun muncul kembali (yang segera ditangkis oleh LSI dengan hasil surveinya tentang kepopuleran reformasi dan masa Suharto).

Satu hal yang jelas berbeda antara masa Suharto (orde baru) dan masa kini (era reformasi), masyarakat makin bebas mengemukakan pendapat. Itu perlu diacungi jempol, walau saya memutuskan tidak memilih mengacungkan jempol ke presiden-presidan di masa reformasi (Habibbie, Gusdur, Mega atau SBY). Karena sebenarnya kondisi kebebasan seperti ini memang tidak bisa dibendung sejak peristiwa penurunan Pak Harto pada tahun 2008. Mudah-mudahan tidak ada presiden (dan mantan presiden) yang menepuk dada mengakui bahwa kebebasan ini merupakan prestasi mereka.

Kembali lagi topik tentang bagaimana rakyat memandang pemimpin negaranya, maka sebenarnya jawabannya sangat sederhana. Mereka (tepatnya kita, karena saya dan anda yang membaca ini juga termasuk rakyat to..) hanya ingin hidup layak, aman dan bahagia di negara yang menjadi tempat lahir, tempat sekolah, tempat bekerja, tempat memakamkan saudara dan orang tua yang telah mendahului kita..

Kenapa setiap kinerja pemerintah, yg mana tudingan langsung diarahkan kepada pemimpin negaranya, jatuh-turun-jelek, maka banyak masyarakat yang mengenang kondisi negara pada masa Suharto? jawabannya adalah karena sebagian besar masyarakat tidak dipusingkan dengan masalah politik dan keamanan negara. "orang jahat" (terserah mau penjahat betulan atau yang dianggap akan menjadi penjahat) akan langsung "dibereskan" sebelum bersentuhan dengan rakyat. Berita pemberontakan atau kondisi kerusuhan di suatu daerah tidak menyebar menjadi polemik berkepanjangan karena diusahakan dituntaskan secara lokal (dilokalisasi).

Dalam hal hubungan dengan masyarakat agraris juga bagus karena saat itu sering sekali ada kegiatan temu wicara yang melibatkan presiden dan kru-nya sehingga masyarakat merasa di-orang-kan. Berbicara langsung dengan presidennya tentu sangat membanggakan, bukan? Bahkan kecintaan Pak Harto terhadap dunia agraris ditampilkan secara nyata dalam kegiatan peternakan TAPOS-nya dan kebum Mekar Sari Bu Tien. Belum lagi keberadaan Taman Mini Indonesia yang juga tak lepas dari kecintaan mereka (bapak dan ibu negara saat itu) kepada negeri ini.

Masyarakat masa itu dimudahkan dengan sembako yang terjamin keberadaan dan harganya (saya memilih tidak menggunakan istilah murah). Proses subsidi pertanian dan pembimbingan berjalan baik karena menteri-menteri pada saat ini dipilih secara cermat dan pintar sehingga bekerja secara profesional, bukan karena harus menjalankan titipan partai.

Namun apakah lantas itu sempurna?

Tentu tidak. Pasti ada pihak yang dirugikan. Yang paling nyata adalah pihak-pihak yang berusaha menentang kebijakan otoriter Suharto. Pembicara bebas (atau mungkin dapat dikatakan sebagai pihak-pihak pro demokratis) ditekan dan dengan "semena-mena" dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang jelas. Saksi mata peristiwa yang melibatkan "pelanggaran" HAM dibungkam sebelum muncul ke permukaan. Pecinta diskusi dan debat politik tidak punya lahan karena sedikit saja salah omong akan berakhir di penjara.

Selain itu pelaku usaha / birokrat korup juga tidak bisa semena-mena. Mereka harus diakui ada dan menjadi "guru-guru" koruptor masa kini, tidak bisa bergerak sesukanya. Ada semacam jaring yang memastikan bahwa gerak mereka terkontrol. Bahkan pernah ingat kejadian masa lalu saat salah satu oknum berusaha meminta suap, tidak berani terang-terangan. Berbagai cara halus diutarakan agar pihak-pihak yang ditemui sadar untuk melakukan suap sehalus mungkin. Muncullah parsel dan bingkisan-bingkisan bentuk silaturahmi untuk menutupi aliran dana siluman.

Lalu saat ini, apa yang terjadi?

Tidak usahlah dibahas. Toh kita bisa baca di surat kabar dan lihat di media yang sudah sangat terbuka.

Lalu apakah mengherankan jika kemudian sebagian masyarakat menanyakan kembali keputusannya untuk menjalani reformasi, masa kebebasan, seperti yang terjadi saat ini?

Namun diantara begitu banyak renungan, pelontaran pikiran dan keraguan, rasanya tetap tidak etis jika kita hanya memunculkan pilihan pada : (1) dukung SBY dengan era reformasinya dan (2) kembali ke masa Suharto. Kenapa? karena yang jelas (1) Pak Harto sudah berpulang, jadi sebaiknya biarkanlah beliau tenang di sana menunggu saatnya menghadapi pertanyaan Allah. (2) Dunia informasi sudah tidak terbendung, walau mau dipaksa untuk isolasi diri (3) masyarakat Indonesia bukan cuma SBY dan para menteri atau pemimpin partai, dan bukan manusia bodoh ;)

Jadi...
Coba dilihat lagi deh, apa sebenarnya yang rakyat ingin pandang dari seorang pemimpinnya. Bagi yang berambisi terlibat langsung sebagai kepala negara ya harus mulai periksa tuh checklist kesiapannya dipandang nyaris 300 juta rakyat Indonesia. Yang sudah jadi pemimpin ya juga harus sadar diri bahwa dirinya sudah memutuskan untuk jadi perhatian satu negara (dan satu bumi). Jangan lantas mutung atau sebel dan kesal karena masih ada juga yang mencaci atau mejelek-jelekkan kinerja yang dirasa sudah dilakukan maksimal. Tanya dulu ke dalam diri dan ke dalam tim, apa benar kita telah bekerja maksimal???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar